◄►broxzin adventure◄►

Wednesday, November 29, 2006

Orang-Orang "Murtad"

Seseorang yang meninggalkan agamanya dan pindah ke agama lain disebut murtad. Kemurtadan saya kira tampak bukan pada kepindahannya ke agama lain, tapi lebih dilihat pada ketidak-sediaannya mematuhi ajaran yang sudah pernah diyakini kebenarannya dan pernah menjadi jalan hidupnya.

Ia dianggap mengkhianati agamanya. Ini perkara sensitif dalam kelompok karena menodai kesakralan dan "ingkar" akan kebenaran agamanya terdahulu. Maka, mereka yang masih di "sana", dan terutama orang-orang yang dianggap pimpinan, biasanya kecewa, jengkel, marah. Dan keluarlah kutukan: "si murtad, yang tak bisa merawat imannya…."

Dalam hidup sosial di luar aturan, tradisi, cara pandang, dan segenap corak ritus sakral keagamaan dapat juga terjadi prinsip kemurtadan. Namanya murtad sosial, suatu momen, atau fenomena, runtuhnya "iman" sosial kita.

Wujudnya, seseorang meninggalkan jalan kemanusiaan dan berganti jalan nafsu angkara murka, yang bertentangan dengan apa saja yang manusiawi. Merampok, membunuh, memerkosa, mencuri, meneror, menyantet, cukup untuk menjadi contoh.

Sebuah film koboi lama, The Good, the Bad, and the Ugly mungkin juga merupakan corak kemurtadan tadi. Hidup serba keras dan penuh kekerasan. Membunuh sesama manusia dianggap biasa. Kelangsungan hidup dijaga dengan pembunuhan.

Tapi di sana yang menang dan yang kalah hampir tak terlihat bedanya. Kedua pihak sama-sama kelelahan, berdarah-darah, menderita, dan getir.

Orang saleh bisa terjerumus dalam kesalahan, dan orang bejat bisa tampak seolah suci dan luhur. Kelicikan, tipu daya, dan perbanditan sungguh berkuasa. Dan sekali lagi: kebejatan bisa tampak seperti kesalehan

Dalam film digambarkan alam yang gersang, kering, panas, batu-batu, dan debu, tanpa air, tanpa pepohonan, tanpa bayangan keteduhan. Para penikmat film sering menganggap film koboi hitam-putih. Saya tak begitu setuju.

Dalam hidup serba keras, di mana kalah-menang tipis bedanya, kesalehan dan kebejatan mudah disamarkan, maka Tuhan dinyatakan lewat bedil, *****-iblis diungkapkan dalam bahasa bedil, dan syiar mengenai apa yang benar pun lewat moncong bedil. Pendeknya, cara ber"amar makruf nahi mungkar" menyampaikan kebenaran dan mencegah kesalahan dan kezalimanpun memakai bahasa bedil.

Dalam hidup yang keras, bedil satu-satunya bahasa yang dipahami umat manusia. Dalam film koboi, satu tema ini bisa tampil dalam banyak variasi pada banyak cerita yang berbeda. Pertarungan benar-salah, mulia-bejat, direpresentasikan pada sang jagoan, orang baik, yang memburu, hingga ke ujung dunia sekalipun, si bandit zalim, yang bikin susah orang lain.

Di sini orang baik bukan orang suci, bukan nabi. Ia mungkin orang kesepian, yang hidup penuh rasa getir, dan enggan menengok gelapnya masa lalu, dan karena itu ia mungkin diam-diam memanggul dendam pada semua bandit, seperti halnya Rama Parasu, pandita berkapak, yang pedih masa lalunya, dan dendam pada semua satria. Kapak raksasanya sudah menebas leher-leher para satria yang tak berdosa. Tapi dalam dunia film koboi, bisa juga orang baik di sini penegak hukum, sheriff, atau wali kota yang berani menyempet-nyerempet bahaya.

Bagaimana si bandit yang zalim itu watak dan ciri-cirinya?

Cerdas, pandai memutarbalikkan fakta, pandai memfitnah, bohong, licik, culas, dan keji. Ia juga pandai menjilat, pandai berpura-pura sedih, atau taubat. Pendeknya, pandai memanipulasi apa saja. Tetapi, nuraninya tumpul.

Tak jarang si bandit mengidap watak antisosial, seperti banyak bandit dalam film-film Amerika. Mungkin pada intinya ia orang yang hidupnya hampa, meaningless, dan tak bahagia. Dalam kategori tertentu ia sebenarnya orang "sakit". Ia patut dikasihani.

Kemurtadan macam itu tak terjadi semata di dalam film. Kalau kita percaya karya seni juga film hanya tiruan buruk dari realitas hidup kita, maka kita akan tahu bahwa dalam hidup nyata, tiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari, kita bertemu, bertegur sapa makan bersama, shalat bersama, terkadang juga naik haji bersama, dan mungkin bersengketa hebat pula, dengan si "murtad".

Dan si "murtad" itu boleh jadi dalam suatu "lakon" tertentu malah kita sendiri. Kita menjadi si "murtad", atau bagian dari jamaah kaum "murtad" tadi. Ini berarti bahwa kita tak bisa menjaga "iman" sosial kita, yang menjadi tonggak dan penyangga rasa hormat dan penghargaan kita atas kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.

Anak buah, teman sejawat, karyawan, para pimpinan, bos, semua bisa murtad. Tokoh bisnis, pemimpin rohani, tokoh intelektual, tokoh politik, tak satu pun pernah kebal dari ancaman murtad sosial tadi.

Tokoh dunia macam Bush pun "murtad" dalam kategori ini. Bahkan lebih dari itu. Ia contoh terbaik untuk menjelaskan relevansi ucapan Mahatma Ghandi: an eye for an eye will only make the whole world blind.

Bush memelopori penciptaan sebuah blind world. Maka, di kalangan orang-orang "murtad", ia yang paling murtad. Di situ ia raja, bahkan kaisar.

Dunia memang sering buta. Kita bagaikan hidup di alam kegelapan, di bumi tingkat ketujuh. Dan saat ini kita menjadi saksi sedih karena kemurtadan terhadap kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, diterima wajar, bahkan dengan rasa hormat, seperti kita menerima mertua yang lama tak berkunjung.

Memang benar, dunia bukan surga, dan tak mungkin dibikin menjadi surga yang nyaman, teduh dan aman. Tapi bukankah kita bisa berusaha membikinnya sedikit lebih terang agar "iman" sosial kita tak terlalu rentan menghadapi godaan untuk "murtad"?

Sunday, November 26, 2006

Amanah yang Terabaikan

"Wahai Tuhan kami yang memiliki Kerajaan (kekuasaan). Engkau beri Kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, Engkau cabut Kerajaan daripada siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau hinakan siapa Engkau kehendaki. Di tanganMulah berada segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala-galanya."(Q.S.Ali-Imran:26)

Nyatalah kepada kita bahwa Kerajaan ataupun Kemuliaan yang kita mililiki itu amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada kita. Perlulah amanah itu dijaga dengan baik dan digunakan mengikut perintah yang punya (Allah SWT). Jika kita tidak pandai menjaganya ataupun menggunakannya mengikut hawa nafsu kita, tidaklah perlu dikesalkan bila ia diambil kembali oleh yang Empunya. Demikian pula kekayaan adalah milik Allah SWT yang dipinjamkannya kepada hambanya manusia.
Jika titipan dari Allah itu tak pandai kita jaga dengan baik, tak perlulah kita bersedih hati bila kekayaan itu diambil kembali oleh yang Empunya.

Oleh karena itu perlulah kita menginsapi bahwa segala apa yang kita miliki di dunia ini, apakah ia kekuasaan, kemuliaan, kekayaan, dan sebagainya adalah amanah dari Allah SWT yang perlu dijaga dengan baik dan digunakan pada jalan yang diridhainya. Kita adalah hambaNya dimana, di satu masa nanti mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, segala apa yang kita miliki itu akan kita tinggalkan. Boleh jadi dengan diambil kembali ketika kita masih hidup, ataupun terpaksa kita tinggalkan karena kematian.