◄►broxzin adventure◄►

Monday, September 04, 2006

Apa yang kita banggakan?

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru
tertegun keheranan.
Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja. ia
mengangkuti air dengan ember
dan menyikat lantai rumahnya keras-keras.
Keringatnya bercucuran deras.
Menyaksikan keganjilan ini orang itu
bertanya, "Apa yang sedang Anda lakukan?"

Sang Guru menjawab, "Tadi saya kedatangan
serombongan tamu yang meminta
nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang
bermanfaat bagi mereka.
Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah
mereka pulang tiba-tiba
saya merasa menjadi orang yang hebat.
Kesombongan saya mulai
bermunculan. Karena itu, saya melakukan ini
untuk membunuh perasaan sombong saya."

Sombong adalah penyakit yang sering
menghinggapi
kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap
muncul tanpa kita sadari. Di
tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor
materi. Kita merasa
lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat
daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor
kecerdasan. Kita merasa
lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan
dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor
kebaikan. Kita sering
menganggap diri kita lebih bermoral, lebih
pemurah, dan lebih tulus
dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat
kesombongan, semakin sulit pula
kita mendeteksinya. Sombong karena materi
sangat mudah terlihat, namun
sombong karena pengetahuan, apalagi sombong
karena kebaikan, sulit
terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-
benih halus di dalam
batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang
berlebihan. Pada tataran yang
lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk
harga diri (self-esteem)
dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan
tetapi, begitu kedua hal
ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda
sudah berada sangat dekat
dengan kesombongan. Batas antara bangga dan
sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di
satu kutub dan
kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir
ke dunia, kita dalam
keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan
tetapi, seiring dengan
waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan,
lebih dari sekadar yang
kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita
selalu mengatakan bahwa
kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita
menuju kutub ego. Ilusi ego
inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme
ketamakan (ekstrem suka)
dan kebencian (ekstrem tidak suka).

Perjuangan melawan kesombongan merupakan
perjuangan menuju kesadaran
sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan
segala bentuknya, ada dua
perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.
Pertama, kita perlu
menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah
makhluk fisik, tetapi
makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah
spiritualitas, sementara tubuh
fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita
lahir dengan tangan
kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan
tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat
semua makhluk dalam
kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi
terkelabui oleh penampilan,
label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini
kita lihat adalah
"tampak dalam". Pandangan seperti ini akan
membantu menjauhkan kita dari
berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun
perbuatan baik yang kita
lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga
demi diri kita sendiri.
Kita memberikan sesuatu kepada orang lain
adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi.
Energi yang kita berikan
kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu
akan kembali kepada kita
dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita
lakukan pasti akan kembali
kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta
kasih, makna hidup, maupun
kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap
berbuat baik kepada pihak
lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada
diri kita sendiri.
Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?


Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya,
dan sudah seharusnya setiap kebaikan yg kita
lakukan kita niatkan semata-mata hanya untuk
mendapatkan balasan dari Allah, dan bukan dari
manusia. Inilah yg dinamakan keikhlasan.. tanpa
pamrih dari manusia..

Seandainya manusia membalas kebaikan kita ya
bersyukurlah, tapi ingat, balasan dari manusia
bukan tujuan kita, itu hanya hasil sampingan.
Karena sungguh kita membutuhkan bekal yang
banyak untuk mengarungi kehidupan abadi di
akherat dan bukan sekedar hidup di dunia.

0 comment(s):

Post a comment

<< Home